Oleh Agus Widjajanto
Pendapat Filsuf Yunani Kuno dalam bahasa Latin Vox Populi Vox Dei yang apabila diterjemahkan dalam bahasa kita yang artinya ‘Suara Rakyat adalah Suara Tuhan’, yang awalnya hanya dikenal dalam dunia peradilan diseluruh dunia yang menganut Demokrasi , dimana posisi Hakim sebagai pemutus perkara diibaratkan Suara Tuhan yang harus menjaga Marwah keadilan atas nama Rakyat.
Dalam perkembangannya istilah ‘Suara Rakyat adalah Suara Tuhan’ sangat erat kaitannya dengan dunia politik yang diadopsi oleh negara-negara seluruh dunia untuk kepentingan politiknya , termasuk Indonesia .
Proses politik yang melibatkan rakyat secara langsung seperti pemilihan presiden dan wakilnya, pemilihan gubernur kepala daerah , bupati walikota , dan anggota DPR-DPRD propinsi dan DPRD kota madya kabupaten, dianggap paling ideal, dibandingkan melalui sistem perwakilan yang sering terjadi transaksional, yang dianggap tidak sesuai aspirasi rakyat.
Yang jadi pertanyaan besar kita , bahwa sesuai pasal 6A ayat 2 “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, peserta Pemilu” apakah pasangan Calon Presiden dan Wakil presiden yang diajukan oleh Partai Politik atau gabungan dari Partai Politik , merupakan aspirasi rakyat atau aspirasi dari yang diwakili partai ? Apakah memang sudah kehendak rakyat, dimana ‘Suara Rakyat adalah Suara Tuhan’?
Belajar dari pemilu tahun-tahun yang sudah berlalu, partai besar pun harus realistis apakah tetap mendorong seorang tokoh yang ternyata kurang dikehendaki rakyat.
Karena kenyataannya keputusan politik ada ditangan partai , tergantung kebijakan partai, bahkan ada yang terus terang bilang tergantung dari ketua umum partai, hingga ada istilah ‘petugas partai’ bagi calon presiden . Ini fenomena yang terjadi, yang tidak bisa kita pungkiri. Mekanimse pencalonan yang terjadi saat ini membuat rakyat seolah dipaksa untuk memilih calon yang sudah ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Apabila mengacu ke sila keempat dari Pancasila yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” dalam sila tersebut sejatinya tidak ada kata-kata yang butuh penafsiran, selain bahwa rakyat memberikan mandat kepada permusyawaratan perwakilan melalui sebuah majelis, yang merupakan lembaga tertinggi selaku wakil rakyat, selaras prinsip Vox Populi Vox Dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sistem perwakilan, dimana negara ini dibentuk dari awal oleh para pendiri bangsa, dan kondisi sistem ketatanegaraan kita saat ini khususnya dalam kaitan pemilu langsung dan kedudukan MPR yang tidak jelas, merupakan pengingkaran dari soko guru yang telah dibangun dari awal oleh pendiri bangsa.
Bahwa dikarenakan dalam hukum dasar kita kedudukan MPR sudah bukan lagi lembaga tertinggi, maka GBHN pun tidak lagi jadi acuan dalam rencana pembangunan kedepan baik lima tahunan, sepuluh tahunan maupun jangka menengah dan jangka panjang, yang berakibat kita kehilangan kompas ( petunjuk arah tujuan ) yang bisa kita lihat sekarang ini, tanpa perencanaan, warga negara dipaksa menonton apa pun yang akan dan sedang dibangun, karena memang konstitusi tidak memberikan mandat kompas dan perencanaan yang jelas dan baku. Ini yang harus dipahami para generasi muda, bahwa sistem ketata negaraan kita ada yang pincang.
William J. Chambliss dan Robert B. Seidman dalam sebuah penelitiannya , menemukan sebuah dalil, The Law of Non Transferability of Law yang artinya hukum suatu bangsa tidak bisa dialihkan begitu saja kepada bangsa lain. Sejalan dengan itu, Cicero menyatakan ubi societas ibi ius, dimana ada masyarakat, disitu ada hukum, sehingga masyarakat suatu bangsa memiliki karakteristik yang berbeda. Maka, Indonesia sebagai bangsa, juga mempunyai karakteristik sendiri dalam hukum walaupun diakui bahwa Indonesia merupakan laboratorium hukum yang kaya, bertalian dengan adanya kesenjangan antara das sollen dengan das sein.
Indonesia mempunyai karakter sendiri yang mengacu pada budaya bangsanya, sebagai pengejawantahan seluruh nilai yang dikandung sila-sila Pancasila, termasuk di dalamnya budaya musyawarah dan mufakat, budaya gotong-royong, budaya guyub, namun sayangnya budaya tersebut tidak lagi tampak dari isi pasal dalam UUD kita yg telah diamandemen. Melalui pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, yang diajukan oleh partai politik peserta pemilu mengajarkan masyarakat akan budaya kebebasan atau liberal, dengan alasan partisipasi langsung oleh rakyat, sebagai pengejawantahan ‘Suara Rakyat adalah Suara Tuhan’.
Pertanyaan selanjut nya apabila rakyat sebagai pemilik suara berkehendak kembali pada sistem perwakilan dengan mengembalikan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai Lembaga Tertinggi Negara, yang mana Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR sebagai mandataris nya, dan menghidupkan lagi GBHN agar arah tujuan Negara diketahui dengan jelas dan sistematis, apakah partai-partai politik dengan multi partai yang saat ini mencapai zona aman , dengan tinggi nya biaya politik dalam Pemilu, yang terpaksa memanfaatkan para konglomerat sebagai pendukung dalam demokrasi yang berakibat berlakunya hukum ekonomi, hukum dagang karena tidak ada makan siang yang gratis, yang dalam dunia modern disebut para Oligarki.
Benar apa yang pernah diramalkan oleh Prabu Jayabaya dalam jangka yang disadur oleh Pujangga penutup Ronggo Warsito, bahwa jaman ini jaman Kolo Bendu ( jaman ketidak pastian/jaman morat maret), dengan ketidak aturan yang hanya berpegang pada kepentingan bisnis dalam semua lini, layaknya sistem demokrasi liberal, bukan demokrasi kita yang bernafaskan nilai-nilai luhur Pancasila, yang saling asah-asih-asuh, saling menghormati, dengan mussyawarah mufakat.***
—————————————
*Penulis adalah Pemerhati Masalah-masalah Hukum, Sosial-Budaya, Politik, dan Kearifan Lokal